Hanya tiga hari bagiku untuk menyelesaikan buku ini.
‘The Classic New York Times Bestseller-Terjual Lebih dari 6 juta kopi dan telah diterjemahkan ke dalam 31 bahasa’. Hanya satu kata untuk menggambarkan buku ini. ‘Amazing’. Suatu kisah nyata dari pengarang.
Buku setebal 749 ini mengangkat kehidupan orang yang dilupakan di Calcutta. Secara garis besar hanya ada 2 tokoh utama dalam buku ini yaitu Hasari Pal dan Stephan Kovalski.
Tokoh pertama adalah Hasari adalah ‘mantan’ petani dari Desa Bengkuli, Benggala Barat. Dia dan keluarganya harus meninggalkan desanya karena hasil panen yang gagal dan utang ke lintah darat di desanya.
Sesampainya di Calcuta, ternyata kehidupan di luar kata ‘manusiawi’ harus diterima Hasari dan Keluarganya. Dengan hanya tinggal di trotoar jalan, mencari sisa makanan di pasar tiap harinya, tidak memiliki satu rupee pun dalam 1 hari, Hasari harus melewati hari-harinya di kota Calcutta.Ternyata nasib mereka masih lebih beruntung dengan ratusan keluarga lain yang mengisi Calcutta.
Tapi dibalik semua itu, Calcutta dikatakan pengarang adalah Negeri Bahagia. Di tengah semua kekurangan mereka, semangat membagi, merasakan apa yang dirasakan warga yang kesakitan, menolong sesama menjadi pengaruh yang cukup kuat bagiku untuk terus bercermin lagi dengan kehidupan sosialku.
Calcutta sebenarnya sebelum kemerdekaan India ternyata menjadi kota impian dan kota tersibuk dan terkaya diantara kota-kota Asia. Berkat Pelabuhan dan beragam industrinya, tempat-tempat pengecoran logam dan pabrik-pabrik kimia serta farmasi. Calcutta mampu memberikan upah rata-rata per orang nomor tiga tertinggi di antara kota India lainnya, di bawah Delhi dan Bombay. Tapi apa yang terjadi di tahun 1900an ini berbalik 180 derajat.
Tokoh kedua adalah seorang misionaris Stephan Kovalski. Pria berkebangsaan Polandia mau menukar semua kenikmatan dunianya menjadi kehidupan yang sangat bersahaja. Dia tinggal di perkampungan kumuh di Calcutta bersama keanekaragaman kehidupan beragama di Negeri Bahagia. Awal kedatangannya dianggap pembawa keburukan karena identik dengan ‘mengkristenkan’ masyarakat Calcutta yang mayoritas beragama Hindu.
Perjuangan Stephen membuatku menitikkan air mata, di kala dia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan pemukiman kumuh di Calcutta. Harus mengantri kakus setiap pagi, menikahkan penderita lepra, mendoakan anak yang menderita kelaparan. Sangat menyentuh sekali. Penggambaran kemiskinan yang nyata.
Buku ini memberikan banyak kesan mendalam bagaimana mau merendahkan hati untuk mau membantu sesama, Berkorban diri sendiri untuk menjadi alat bagi Tuhan bagi sesama yang berkekurangan dan Menyatakan keberadaan Tuhan ditengah minoritas dan kecaman yang didapatkan.
Di akhir buku ini ditambahkan seorang dokter Max Loeb dari Miami. Dia adalah anak orang kaya yang akan menjadi ahli waris ayahnya (seorang dokter juga). Dia mau menerima tawaran Stephan untuk mengabdi kepada masyarakat penderita Lepra di Calcutta. Awalnya kejijikan muncul didirinya dikala harus menggergaji tangan dan kaki penderita Lepra yang telah dipenuhi belatung. Tapi akhirnya dia bisa menghadapinya. Bahkan dia akhir cerita dikatakan bahwa Max sering mengunjungi lagi kota ini.
Sangat baik untuk kita membaca sendiri buku ini. Hikmah yang didapatkan begitu banyak dan menyentuh.